Suatu waktu, saya menemani
rombongan masturah dari Bangladesh. Sebagai tuan rumah, pastilah kita berusaha
melayani mereka sebaik mungkin. Baik dari segi transport, tempat tinggal,
maupun konsumsi.
Permasalahannya, mereka tidak mau dilayani atau dirajakan. Mereka
hanya perlu transport, tempat tinggal
dan disambut hangat oleh orang-orang tuan rumah. Soal komsumsi, mereka mau
masak sendiri dengan selera sendiri. Kita selaku tuan rumah, tak bisa
bersikeras memaksa mereka.
Setiap dua malam, rombongan pindah
ke rumah-rumah yang telah disediakan dengan senang hati dan orang-orang
tempatan – orang yang tinggal di daerah tersebut/bukan tuam rumah – pun berusaha
melayani mereka sebaik mungkin.
Dan saya lupa, berapa rumah sempat
menemani mereka, dan ada beberapa hikmah yang saya inginkan tuangkan di sini.
Sebelumnya, sudah saya ceritakan,
orang-orang tempatan telah berusaha sebaik mungkin dalam masalah pelayanan. Namun,
pada rumah-rumah pertama, kebjikan-kebijakan yang diberikan terlihat terasa
berlebihan dan mubajir, terlebih lagi memang rombongan ingin mandiri.
Akhirnya, entah rumah yang ke
berapa, kebijakan berubah. Dan kebijakan baru juga terlihat bagus, efisien dan
tidak mubajir. Hanya saja, dengan kebijakan baru, ada satu sisi yang
terabaikan. Akhirnya, sebelum waktu saya menemani mereka berakhir, saya coba
sampaikan ke orang tempatan yang lebih dituakan. Karena menurut saya, satu sisi
yang terabaikan itu, juga sama penting bagaimana memberikan yang terbaik untuk
tamu. Dan entah bagaimana nanti kebijakannya, itu terserah orang-orang
tempatan. Saya hanya menyampaikan.
Maaf, jika cerita saya agak
berbelit-belit. Saya hanya coba berusaha menutupi daerah dan kasusnya. Karena pada
intinya, saya hanya ingin mengurai hikmahnya, bukan kasusnya.
Beberapa hari kemudian, saya berkunjung ke rombongan
dan bertemu dengan orang tempat saya melapor. Entah kenapa, ada perasaan malu
pada beliau. Saya seperti telah mengadukan kesalahan orang lain. Itu yang membuat
saya malu, dan mungkin juga, cara penyampaian saya juga memalukan. Saya meminta
maaf kepada beliau, karena telah ikut campur dengan urusan daerah mereka, dan
padahal saat itu juga saya sebagai tamu, sama seperti rombongan tersebut.
Setelah itu, beliau berkata, “Tolong
tutupi!”
Saya melihat raut wajah beliau saat
itu, seakan-akan mewakili semua orang yang melakukan kesalahan. Baik disengaja
atau tidak disengaja.
Padahal, saat saya menyampaikan,
niat saya cuma ingin ada kebijakan baru supaya satu sisi itu juga diperhatikan. Tapi
bagi beliau, mungkin itu sebuah kesalahan yang membuat mereka malu.
Setelah itu, saya selalu
terngiang-ngiang kalimat itu. Tolong tutupi. Bersamaan itu pula, saya teringat
apa saja yang saya lakukan selama menemani rombongan. Saya bercerita banyak
kepada teman-teman tertentu perihal rombongan. Tak ada niatan membeberkan aib
mereka, dan kadang saya pun memandang bukan aib, tapi sesuatu yang kocak hingga
ingin bercerita ke teman lain.
Indonesia dan Bangladesh, beda Negara,
tentu beda karakter. Itulah kadang, saya merasa lucu dengan tingkah-tingkah
mereka. Namun, belakangan prilaku saya bercerita ke teman, disilet oleh
kalimat, “Tolong tutupi.” Sungguh menyakitkan.
Terlebih lagi, hari berikutnya saya
berkunjung kembali sebagai perpisahan karena semakin jauh mereka bergerak,
semakin sulit saya mengunjungi mereka. Pada perpisahan inilah, sikap mereka
yang luar biasa membuat perasaan saya semakin merasa bersalah. Saya telah
mengkhianati kebaikan mereka. Sampai saat ini, jika ingat kebaikan mereka,
teringat pula lah kesalahan saya. Dosa mungkin saja bisa dimaafkan, tapi jejak
di hati tetap tak terhapus. Baik itu kebaikan atau keburukan.
Berikut beberapa hikmah yang dapat
diambil.
1.
Mengadukan kesalahan orang lain meski niatnya baik,
kadang bisa mempermalukan diri sendiri. Karena itu, jika memang memerlukan
perbaikan, carilah waktu, tempat, bahkan kata-kata yang bijak.
2.
Membicarakan kesalahan
orang lain, suatu saat kita akan dihadapkan rasa bersalah, kecuali jika memang hati kita telah tertutup kebaikan.
3.
Setiap orang pasti merasa
malu, jika terlanjur berbuat kesalahan, kecuali orang yang keras hatinya. Pasti
juga malu melihatnya serta tak ingin dilihat dan diketahui oleh orang lain,
terlebih lagi jika kesalahan itu memang tidak disengaja. Jika begitu, kenapa
kita justru senang membicarakan dan membeberkan aib orang lain, padahal
kesalahan kita sendiri ingin ditutupi?
Sungguh, sebuah pengkhiatan juga
ketidakadilan. Maunya ditutupi setiap kesalahan yang terlanjur, tetapi kenapa justru gemar membicarakan, membuka dan membeberkan kesalahan orang
lain.
Karena itu, berusahalah menutupi
kesalahan orang lain, semoga Allah juga tutupi kesalahan kita. Membiacarakan
kesalahan orang lain, secara tidak langsung telah menampakkan kejelekan kita
sendiri. Jika ingat kesalahan orang lain, ingatlah pula, kita pasti pernah berbuat
salah.
Tidak ada komentar