Menu
Cahaya Akhwat

Tolong Tutupi




Suatu waktu, saya menemani rombongan masturah dari Bangladesh. Sebagai tuan rumah, pastilah kita berusaha melayani mereka sebaik mungkin. Baik dari segi transport, tempat tinggal, maupun konsumsi.
 

Permasalahannya, mereka tidak mau dilayani atau dirajakan. Mereka hanya perlu  transport, tempat tinggal dan disambut hangat oleh orang-orang tuan rumah. Soal komsumsi, mereka mau masak sendiri dengan selera sendiri. Kita selaku tuan rumah, tak bisa bersikeras memaksa mereka.

Setiap dua malam, rombongan pindah ke rumah-rumah yang telah disediakan dengan senang hati dan orang-orang tempatan – orang yang tinggal di daerah tersebut/bukan tuam rumah – pun berusaha melayani mereka sebaik mungkin. 

Dan saya lupa, berapa rumah sempat menemani mereka, dan ada beberapa hikmah yang saya inginkan tuangkan di sini.
Sebelumnya, sudah saya ceritakan, orang-orang tempatan telah berusaha sebaik mungkin dalam masalah pelayanan. Namun, pada rumah-rumah pertama, kebjikan-kebijakan yang diberikan terlihat terasa berlebihan dan mubajir, terlebih lagi memang rombongan ingin mandiri. 

Akhirnya, entah rumah yang ke berapa, kebijakan berubah. Dan kebijakan baru juga terlihat bagus, efisien dan tidak mubajir. Hanya saja, dengan kebijakan baru, ada satu sisi yang terabaikan. Akhirnya, sebelum waktu saya menemani mereka berakhir, saya coba sampaikan ke orang tempatan yang lebih dituakan. Karena menurut saya, satu sisi yang terabaikan itu, juga sama penting bagaimana memberikan yang terbaik untuk tamu. Dan entah bagaimana nanti kebijakannya, itu terserah orang-orang tempatan. Saya hanya menyampaikan. 

Maaf, jika cerita saya agak berbelit-belit. Saya hanya coba berusaha menutupi daerah dan kasusnya. Karena pada intinya, saya hanya ingin mengurai hikmahnya, bukan kasusnya. 

Beberapa hari kemudian, saya berkunjung ke rombongan dan bertemu dengan orang tempat saya melapor. Entah kenapa, ada perasaan malu pada beliau. Saya seperti telah mengadukan kesalahan orang lain. Itu yang membuat saya malu, dan mungkin juga, cara penyampaian saya juga memalukan. Saya meminta maaf kepada beliau, karena telah ikut campur dengan urusan daerah mereka, dan padahal saat itu juga saya sebagai tamu, sama seperti rombongan tersebut. 

Setelah itu, beliau berkata, “Tolong tutupi!”
Saya melihat raut wajah beliau saat itu, seakan-akan mewakili semua orang yang melakukan kesalahan. Baik disengaja atau tidak disengaja. 

Padahal, saat saya menyampaikan, niat saya cuma ingin ada kebijakan baru  supaya satu sisi itu juga diperhatikan. Tapi bagi beliau, mungkin itu sebuah kesalahan yang membuat mereka malu.
Setelah itu, saya selalu terngiang-ngiang kalimat itu. Tolong tutupi. Bersamaan itu pula, saya teringat apa saja yang saya lakukan selama menemani rombongan. Saya bercerita banyak kepada teman-teman tertentu perihal rombongan. Tak ada niatan membeberkan aib mereka, dan kadang saya pun memandang bukan aib, tapi sesuatu yang kocak hingga ingin bercerita ke teman lain. 

Indonesia dan Bangladesh, beda Negara, tentu beda karakter. Itulah kadang, saya merasa lucu dengan tingkah-tingkah mereka. Namun, belakangan prilaku saya bercerita ke teman, disilet oleh kalimat, “Tolong tutupi.” Sungguh menyakitkan. 

Terlebih lagi, hari berikutnya saya berkunjung kembali sebagai perpisahan karena semakin jauh mereka bergerak, semakin sulit saya mengunjungi mereka. Pada perpisahan inilah, sikap mereka yang luar biasa  membuat perasaan saya semakin merasa bersalah. Saya telah mengkhianati kebaikan mereka. Sampai saat ini, jika ingat kebaikan mereka, teringat pula lah kesalahan saya. Dosa mungkin saja bisa dimaafkan, tapi jejak di hati tetap tak terhapus. Baik itu kebaikan atau keburukan. 

Berikut beberapa hikmah yang dapat diambil.
1.      Mengadukan kesalahan orang lain meski niatnya baik, kadang bisa mempermalukan diri sendiri. Karena itu, jika memang memerlukan perbaikan, carilah waktu, tempat, bahkan kata-kata yang bijak.
2.      Membicarakan kesalahan orang lain, suatu saat kita akan dihadapkan rasa bersalah, kecuali jika memang  hati kita telah tertutup kebaikan.
3.      Setiap orang pasti merasa malu, jika terlanjur berbuat kesalahan, kecuali orang yang keras hatinya. Pasti juga malu melihatnya serta tak ingin dilihat dan diketahui oleh orang lain, terlebih lagi jika kesalahan itu memang tidak disengaja. Jika begitu, kenapa kita justru senang membicarakan dan membeberkan aib orang lain, padahal kesalahan kita sendiri ingin ditutupi?

Sungguh, sebuah pengkhiatan juga ketidakadilan. Maunya ditutupi setiap kesalahan yang terlanjur, tetapi kenapa justru gemar membicarakan, membuka dan membeberkan kesalahan orang lain.

Karena itu, berusahalah menutupi kesalahan orang lain, semoga Allah juga tutupi kesalahan kita. Membiacarakan kesalahan orang lain, secara tidak langsung telah menampakkan kejelekan kita sendiri. Jika ingat kesalahan orang lain, ingatlah pula, kita pasti pernah berbuat salah.

Tidak ada komentar