Menu
Cahaya Akhwat

Ada Berkah dalam Bakti

ilustrasi




Aida mengembuskan napas lelahnya. Ia menggerak-gerakkan lehernya yang terasa kaku. Baru saja ia menyelesaikan tumpukan cuciannya. Setelah itu, ia meluncur ke dapur untuk mengambil semangkok bubur dan segelas air putih.

“Ibu, makan ya,” bujuk Aida pada ibu mertuanya yang terbaring dalam kamar, Zubaidah. 
Dengan pelan Aida membantu Zubaidah duduk, lalu meletakkan bantal untuk dijadikan sandaran Zubaidah.
Aida menatap Zubaidah yang sedang menikmati bubur buatannya. Hari ke hari, kondisi Zubaidah semakin memprihatinkan. Obat-obatan tidak lagi memberikan dampak yang signifikan. Aida hanya bisa berdoa dalam hati, semoga Allah memberi kesehatan pada ibu mertuanya itu. 

**
Baru saja Aida mencuci beberapa buah piring, tiba-tiba ia mendengar erangan Zubaidah dari kamar.
Ia bergegas menuju ke kamar. Terlihat Zubaidah mengerang kesakitan sambil memegang perut. Aida meringis melihatnya, ia segera memijit telapak kaki ibu mertuanya. Aida tahu, pijitannya tidaklah memberikan pengaruh apa-apa, tapi setidaknya bisa membuat perasaan Zubaidah merasa lebih nyaman.

Zubaidah telah tertidur pulas.  Sejenak Aida menoleh kalender, sekarang ia tak bisa lagi membuang kekhawatirannya.


***


Sebuah panggilan yang membuat Aida tersentak. Irsyad, suaminya masuk ke dalam kamar Zubaidah.

“Salamku tidak kamu jawab,” kata Irsyad, sambil menghampiri Aida, lalu mencium kepala Aida sekilas.

“Waalaikumussalam,” ucap Aida sambil menampakkan wajah permohonan maaf.

Irsyad tersenyum tipis. Ia memang sudah menduga Aida tidak mendengar salamnya. Irsyad menatap tangan kanan Aida yang memegang mushaf, sebelah kirinya memijiti kaki ibunya. Pandangan Irsyad beralih ke wajah ibunya yang terpejam. 




“Bagaimana keadaan, Ibu?” tanya Irsyad pelan.

Aida hanya bisa membalas dengan helaan napas. 

“Sepertinya ibu sudah tidur, kamu bisa murajaah di luar.” 

“Ibu memang seperti tidur, tapi ia akan terbangun jika ditinggalkan,” bisik Aida.

Irsyad menatap wajah ibunya yang sepertinya sudah terlelap. Ia memahami ibunya memerlukan perhatian lebih, dan ia tak mempermasalahkan sepanjang Aida bisa melakukannya. Hanya saja, Irsyad mengkhawatirkan Aida karena berapa hari lagi Aida harus tes hafalan 30 juz. Aida tidak akan bisa berkonsentrasi penuh jika harus melayani ibunya dan melakukan banyak kesibukan sebagai ibu rumah tangga. 

“Kamu murajaah saja di luar, biar aku yang jaga ibu,” ucap Irsyad sambil menyentuh telapak kaki ibunya.
“Mas, mandi dulu, lalu makan. Saya sudah siapkan makanan di atas meja,” sahut Aida sambil mengambil alih kaki Zubaidah yang tadinya sempat dipegang Irsyad.



***


Aida keluar dari kamar Zubaidah setelah memastikan ibu mertuanya benar-benar terlelap. Langkahnya terhenti ketika di depan pintu kamarnya.

“Tolonglah, Kak!” Irsyad sedang berbicara dengan kakak perempuannya di telpon. “Kak, hanya berapa ini saja. Setelah Aida selesai tes, kami akan ke sini lagi. … Kak … Tapi… Kak!”  

Aida terpaku menatap Irsyad yang menahan kesal. Sebulir air mata jatuh di pipinya. Tadinya ia ke kamar juga untuk membicarakan hal itu. Ia ingin meminta izin beberapa hari saja untuk fokus persiapan tes hafalannya. Ternyata Irsyad pun memiliki pemikiran yang sama. Tapi….

Aida terkesiap melihat Irsyad yang kaget melihatnya. Ia segera mengusap wajah, lalu menampilkan senyuman. 

“Mas, belum tidur?” tanyanya mengalihkan perhatian. “Jangan terlalu larut malam, Mas harus jaga kesehatan.”

Irsyad menghampirinya, lalu mendekapnya. Irsyad meletakkan wajahnya di atas kepala Aida. “Kamu pasti dengar pembicaraanku tadi.”
Aida mengangguk pelan.

“Maafkan, aku.”

Aida merenggangkan pelukan suaminya, “Mas tidak perlu minta maaf. Saya justru sangat berterima kasih, karena Mas telah berusaha berbuat untuk saya.”

Irsyad menatapnya gamang. 

“Sudahlah! Kita sudah berusaha, selebihnya kita serahkan semuanya pada Allah. Yang penting ibu jangan sampai terlantar. Saya akui, saya juga khwatir bagaimana tes hafalan saya nanti, tapi kita harus tetap memprioritaskan ibu.”

“Tapi jika kesibukanmu terus-terusan seperti ini, bisa-bisa kamu tidak lolos. Dan kamu harus menunggu setahun lagi untuk ikutan tes seperti ini. Sementara ibu adalah tanggung jawabku dan saudara-saudaraku.”

Aida memegang kedua tangan Irsyad. “Tanggung jawab Mas juga tanggung jawabku. Sudahlah, saya tak apa. In sya Allah, saya bisa melewatinya,” ucapnya dengan senyuman dibuat meyakinkan. “Saya juga tak menyesal jika harus menerima kegagalan karena saya sudah berbakti pada ibu. Jadi Mas jangan khawatir.”

Irsyad kembali memeluknya. Tanpa suara. Aida pun tak bisa membohongi dirinya. Ia pun ingin lolos tahun ini. Tetapi, jika memang harus seperti ini yang dilaluinya, ia akan belajar ikhlas.



***

lihat juga :

TATAPAN SANG MANTAN


Hingga tiba harinya. Habis shalat Subuh Aida dikelilingi empat orang ustazah yang siap menyimak hafalannya. Awalnya ia gugup. Persiapan yang tidak matang, ditambah kondisi fisiknya yang terlalu lelah membuatnya semakin khawatir. 

Ia mengucapkan bismillah sambil memejamkan mata. Baginya ia sudah berusaha berbuat maksimal sekemampuannya, apakah berhasil atau tidak, semua itu adalah urusan Allah. 

Di juz sepuluh pertama, bacaan hafalan Aida sangat lancar. Di juz sepuluh juz kedua, ia mulai ragu-ragu karena konsentrasi mulai pecah. Beruntungnya ada berapa kali jeda untuk shalat sehingga waktu yang sebentar itu, ia gunakan merelaksasikan kepalanya. Meski tidak menghilangkan lelah sepenuhnya, ia tetap bersyukur.

 Sehabis Isya, ia menyelesaikan juz sepuluh ke tiga. Tubuhnya benar-benar ingin roboh, kepalanya pun sudah terasa berat sekali, dan perutnya sudah semakin melilit. Namun, pantang baginya mundur. Baginya gagal adalah lebih baik daripada menyerah. 

Ia membaca dengan agak lambat, dan entah sudah berapa kali ia diingatkan. Aida tak bisa berharap lagi, tapi ia berazam untuk menyelesaikan 30 juz hari ini.

***

Aida membuka matanya yang masih terasa berat. Senyum Irsyad langsung menyapanya. “Bagaimana keadaanmu, Sayang? Masih cape?”

Aida tak langsung menjawab. Terlebih dahulu ia menyandarkan punggungnya ke sandaran ranjang. Badannya masih terasa remuk.
“Bagaimana keadaan ibu?” 

Irsyad menjentik halus hidungnya. “Di saat seperti ini, kamu masih memikirkan ibu?! Ibu masih seperti itu. Tapi, jangan khawatir, ada kakak yang menemani.”

Irsyad tersenyum geli melihat napas lega Aida. 

“Berapa jam saya tertidur?” tanya Aida sambil meraih ponselnya, namun keburu disambar Irsyad.

 Aida menatap heran.

“Itu tidak penting. Yang penting kamu lihat ini!” Irsyad memperlihatkan sebuah gambar di ponsel Aida. Aida meluruskan badannya begitu mengetahui bahwa gambar itu adalah pengumuman kelolosan. Jantungnya berdetak hebat ketika menyusuri deretan nama.

“Saya lolos?!” seru Aida, seakan tidak percaya dengan penglihatannya atau mungkin ada Aida yang lain.

Irsyad mengangguk. Aida masih terdiam bengong.

“Selamat, ya, Sayang,” bisik Irsyad.
“Alhamdulillah,” serunya sambil menghamburkan diri ke pelukan Irsyad.

Aida tak bersuara. Ia masih belum percaya, tapi kenyataannya ia mendengar ucapan selamat dari suaminya.

Saat itu juga ia tersadar, kalau semua itu adalah karena pertolongan Allah. Allah tidak akan menyia-nyiakan pengorbanan orang yang berbakti pada orang tuanya, tak terkecuali kepada mertua.


Tidak ada komentar