Menu
Cahaya Akhwat

Kemenangan Seorang Istri




بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

suatu hal yang lumrah jika suami-istri mempunyai pendapat, pandangan, atau kemauan yang berbeda. Jika sama-sama jalan sih ngga papa. Yang bermasalah kadang harus menuntut satu keputusan. Istrikah atau suamikah?
Kalau sama-sama keras, besar kemungkinan akan pecah atau bahkan bisa jadi meledak hingga hancur lebur. Sama-sama mengalah, maka akhirnya tak ada keputusan yang dibuat. Suami yang bijak mengalah? Ini pun kadang bukan keputusan yang terbaik, tak sedikit yang hancur dikarenakan seorang pemimpin terlalu lemah atau tak bisa menentukan sikap. Istri mengalah? Khawatirnya diam-diam egonya merasa tertawan. bahkan mungkin merasa harus mengubur mimpi, kreatifitas, atau eksistentinya. Memang menyakitkan!
Maka jalan satu-satunya adalah musyawarah. Saling mengemukakan pendapatan, saling menimbang-nimbang pendapat satu sama lain.
Namun ada kalanya sang suami ngotot karena pendapatnya memang benar, sedangkan istri bersikukuh karena juga merupakan atas pertimbangan yang matang. Sementara keadaan tetap menuntut satu keputusan.
Kalau menurut diri pribadi sih, jika pendapat suami memang benar (sesuai akal dan agama) walaupun pendapat kita tidak salah – istrilah yang harus mentaati suami. Apa? Haruskah istri yang selalu mengalah? Apakah agama menuntut ketaatan seperti ini, hingga harus menguburkan mimpi, menghilangkan segalanya demi suami? #segitunya…. ^-^
Tidak! Istri tidak mengalah dan juga didiskriminasikan. Justru di sinilah letak kemenangan seorang istri. Kemenangan atas kemampuan menaklukan egonya sendiri, demi anugerah yang Allah berikan kepadanya. Kemampuan menaklukkan asa demi sebuah keseimbangan biduk rumah tangga. Kemampuan menyimpan mimpi, demi kebahagiaan bersama. Kemampuan menaklukkan perasaan demi iman, demi redha Robbul Izzati.
Inilah yang dimaksud arti sebuah kemenangan. Apalah artinya kita mempertahan keinginan, mimpi maupun asa, kalau hari-hari harus bertengkar dengan suami. Kalaupun dengan kesabarannya, ia mampu berdiam, namun diam-diam kita telah menyemaikan rasa tidak suka di hatinya.
Tubuh, rasa, mimpi, asa boleh hancur demi sebuah ketaatan, tapi kita tidak boleh kehilangan ridha Ar-Rahman Ar-Rahim. Apapun yang dilakukan demi ridha Allah akan berimbang pada kebahagiaan yang lain. Tidak akan ada pengorbanan yang sia-sia. Apalagi jika demi ridha Pemilik sang Cinta.
Pengorbanan yang kita lakukan demi suami pun, tidak akan hilang begitu saja di hatinya. Dengan pengorbanan itu, akan melahirkan sejuta penghargaan dan bibit cinta di hatinya. Yang mana, setiap saat bibit itu bisa tumbuh dan berkembang, jika terus disiram dan dipupuk dengan kesabaran dan kebaktian. In sha Allah. 
Allahu a’lam.


Tidak ada komentar