Menu
Cahaya Akhwat

Naluri Muhafazah

Cahaya Akhwat – Pada artikel sebelumnya, telah diceritakan sempat menjadi muhafazah  2 pekan di salah satu pondok pesantren.

Karena itu program percepatan, dari awalnya aku sadar diri, tugasku hanyalah menyimak setoran hafalan peserta. Hanya disitu. Titik.

Ternyata tidak semudah itu ketika di lapangan. Walaupun tugasku hanyalah menerima setoran, tapi naluri tak bisa diam begitu saja ketika melihat kesulitan-kesulitan menghafal yang dijalani peserta, dan yang lebih repot, setiap santri berbeda-beda karakter dan potensi.

Dalam membimbing menghafal, aku lebih menyarankan metode dengan memahami terjemahannya dulu, terlebih lagi peserta memang sudah jadi santri pondok yang sudah bisa berbahasa Arab.

Ayat-ayat Al-Qur’an merupakan kosa sata yang diulang-ulang, jadi setiap ayat yang bertambah, saya hanya menekankan menghafal kosa kata yang baru dan membayangkan alur cerita, sehingga mereka tidak terlalu cape (cat- menurutku) menghafal semuanya. Dan Alhamdulillah, ada dua santri yang menjalankan metode ini,  mereka menghafal cukup cepat.

Tapi, metode ini tak bisa dijalani semua santri. Sebagian santri, dengan metode ini, ada yang malas mengikuti petunjuk itu,  ada yang justru membuat mereka tambah pening, dan ada juga yang justru ga nyambung-nyambung. Awalnya, aku heran juga, kenapa mereka fasih berbahasa Arab, tapi kesulitan menghafal Al-Qur’an dengan membayangkan maknanya.

Setelah dicermati, memang mereka mempunyai karakter yang berbeda-beda dan tentu penanganannya berbeda-beda pula.
Kenapa aku jadi terlibat sejauh itu? Padahal dari awal, tugas cuma menyimak hafalan mereka? Mungkin, inilah yang disebut naluri. Kita tidak bisa diam ketika melihat kesulitan-kesulitan, atau kejadian-kejadian janggal lainnya, walaupun orang tersebut tidak ada hubungannya tidak kita.

Namun adakalanya, panggilan naluri tersebut perlu kita pertimbangkan. Misalnya, ketika kita melihat orang terluka di pinggir jalan, dan tak ada siapa-siapa di sana. Naluri kemanusiaan kita pasti ingin menolong orang tersebut, namun sangat penting untuk mempertimbangkannya lebih dahulu sebelum bertindak. Apakah harus mendekati dan menolongnya langsung? Situasi ini, bisa bisa kita yang tertuduh menjalimi. Lapor ke pihak yang berwenang? Jangan-jangan orang itu bisa mati sebelum pertolongan datang. Atau jangan-jangan, itu hanyalah modus, yang nanti akan membajak kita?

Kembali kepada naluriku sebagai muhafazah. Sebagai muhafazah pun tak bisa serta merta memenuhi panggilan naluri. Aku harus melihat situasi, kondisi, dan lokasi.

Ada peserta yang cara menghafalnya terlalu tergesak-gesak, kurang teliti dan banyak salahnya. Untuk tipe ini, cocoknya dibimbing dengan metode menghafal dengan bernada. Di samping untuk menangkis sifat ketergesaannya, melatih kesabaran, dan juga untuk memiliki hafalan yang berkualitas.

Ada pula yang hanya memiliki konsentrasi beberapa menit. Karakter seperti ini tentu sangat kesulitan untuk menghafal karena menghafal membutuhkan konsentrasi. Untuk tipe ini, aku berpikir sebaiknya dia latihan senam otak dulu dan banyak-banyak tilawah sebelum memulai menghafal atau dengan metode tikrar.

Akan tetapi, semua solusi-solusi yang kupikirkan tak bisa serta dijalankan. Aku tak mungkin memaksa mereka melakukannya karena saat itu program percepatan yang hanya berjangka 2 pekan, bukan program pondok dengan waktu setahun atau sekian tahun.

Program perpecepatan, pada umumnya tidak menuntut kelancaran yang harus lancar, bahkan dengan talaqqi pun sudah diterima. Muhafazah jangan menuntut kelancaran bacaan peserta sebagaimana santri yang mondok di pondok pesantrin.

Muhafazah hanya bisa membantu sekadarnya, tapi jangan memaksakan mereka jika mereka tidak mampu.

Lalu ketika program usai. Sebelum program usai pun, aku sudah berpikir bagaimana dengan hafalan mereka kelak. Setelah kembali ke rumah masing atau kembali ke rutintitas yang seabrek? Masih bisakah mereka murajaah dengan modal kualitas hafalan yang tidak begitu lancar. Hafalan tidak begitu lancar, tidak begitu masalah kalau mereka masih punya waktu murajaah.

Kerisauan itu sempat disampaikan kepada sesama muhafazah, dan oleh seorang muhafazah disampaikan lagi ke pihak penitia dengan saran agar pihak pondok tetap memantau hafalan santri. Mereka menjawab “tidak bisa”. Sedihnya...


Memang kita tidak bisa berharap pada pihak pondok karena mereka juga memiliki kesibukan yang segudang. Akhirnya, pemeliharan hafalan hanya kembali pada rasa tanggung jawab diri masing-masing. Dan muhafazah hendaknya senantiasa mendoakan. 

Cahaya Akhwat – Pada artikel sebelumnya, telah diceritakan sempat menjadi muhafazah  2 pekan di salah satu pondok pesantren. Karena itu prog...
El Nurien
Cahaya Akhwat

Antara Aku dan Dunia Al-Qur'an

Assalamu ‘alaikum. Apa kabar teman Cahaya Akhwat? Semoga selalu dalam naungan hidayah dan sehat selalu.

 Maaf, lama tidak update artikel. Pasalnya, entah kenapa (diri pribadi) banting setir minat. Yang darinya minat suka menulis, tiba-tiba pingin bergelut di dunia pendidikan menghafal Al-Qur’an. Gayung bersambut, tiba-tiba diminta menjadi salah satu muhafazah selama 15 hari di salah satu pondok modern di Kalimantan Selatan. Langsung saja kaya cacing kepanasan. Kepingin, tapi terlalu banyak yang harus diselesaikan. Alhamdulillah, akhirnya Allah izinkan jua.

Setelah 15 hari, pulang ke rumah, berlanjut menyimak hafalan anak-anak dan sepupu-sepupunya (selama liburan Ramadhan), dan habis Ramadhan (tepatnya habis lebaran) berlanjut program anak bungsu tahfiz di rumah selama setahun.

Tapi, yang namanya punya hobi menulis, selalu ada rasa bersalah di hati, kurang nyaman karena lama tak menulis. Akhirnya, di sela istirahat dipaksakan menulis. Tapi yang santai aja, ga menguras otak,  alias cuma cerita doang, semoga bermanfaat.  

Sebenarnya, tepatnya bukan banting setir. Karena seorang penghafal harus selalu berhubungan dengan dunia AlQuran, agar hafalan (insya Allah) tetap terjaga/alias tidak putus hubungan. Hanya saja, dulu sangat tidak berminat di dunia ajar mengajar. Allah punya aturan, dan semoga Allah membimbingku kepada yang lebih bermanfaat untuk agama dan ummat.

Jadi kali ini hanya cerita. Ikatan antara Aku dan DuniaAl-Qur’an. Sebenarnya, ini suatu hal yang wajib dilakukan para penghafal atau hafiz agar hafalan selalu terjaga. Lebih disarankan lagi bergabung atau ikut terlibat dalam pengembangan dunia Al-Qur’an, baik itu belajar mengaji, tahsin, tahfiz,atau tafsir.

Boleh saja seorang penghafal mengulang sendiri di rumah, hanya saja sebagai manusia, kadang kita mengalami futur iman. Jika iman menurun, semangat murajaah pun menurun, jika terus berlanjut bisa menyebabkan hilangnya hafalan. Na’udzu billah min dzalik.

Sebaliknya, jika kita bergabung dalam komunitas yang berhubungan dunia Al-Qur’an, (insya Allah) ada teman yang menyemangati atau selalu semangat karena melihaT Semangat teman-teman.

“Menghafal adalah sunnah, menjaga yang wajib”, begitu pesan seorang ustadzah. So, bagaimana pun caranya untuk menjaga hafalan, itu terserah masing-masing pribadi. Jadi, aku pun tak seharusnya cemas, jika dunia menulisku jadi terabaikan. Semoga saja tidak. Hafalan terjaga, dan menulis pun jalan. Aaminn. 

Gambar dari https://artikelmuslimah.wordpress.com/2012/02/12/kisah-perjuangan-dakwah-muslimah-al-furqon-hong-kong/

Assalamu ‘alaikum. Apa kabar teman Cahaya Akhwat? Semoga selalu dalam naungan hidayah dan sehat selalu.  Maaf, lama tidak update artikel. Pa...
El Nurien