Menu
Cahaya Akhwat

Akhwat, Generasi Masa Depan ada di tanganmu!



وَالْبَلَدُ الطَّيِّبُ يَخْرُجُ نَبَاتُهُو بِإِذْنِ رَبِّهِي، وَالَّذِي خَبُثَ لَايَـخْرُجُ إِلَّا نَكِدًا ، كَذَالِكَ نُصَرِّفُ الْأٰيٰتِ لِقَوْمٍ يَّشْكُرُوْنَ ﴿٥٨﴾


“Dan tanah yang baik, tanaman-tanamannya tumbuh subur dengan seizin Allah, dan tanah yang tidak subur, tanaman-tanamannya hanya tumbuh merana. Demikianlah Kami mengulangi tanda-tanda kebesaran (Kami) bagi orang-orang yang bersyukur.” (Q.s. Al-A’raf : 58)




Tanah yang baik, dengan izin Allah, tanaman-tanaman di atasnya akan tumbuh subur, sebaliknya tanah yang tidak baik, tanaman-tanaman akan tumbuh merana, atau bahkan tak bisa bertahan hidup lebih lama.

Di sini saya hanya mengambil tamsil atau pelajaran dari ayat di atas, jadi bukan pemahaman dari secara harfiah.

Tanah, saya permisalankan dengan wanita. Wanita yang shalihah akan melahirkan anak-anak yang shalih dan shalihah, sebaliknya wanita yang buruk (yang tidak paham agama) akan melahirkan anak yang buruk pula.

Wanita yang shalih akan melahirkan anak yang shalih, begitulah yang lumrah terjadi, hal ini didukung oleh sebuah hadits:

“Pilihlah untuk air mani kalian, karena watak mempengaruhi keturunan.”[1]

 Faktor keturunan/genetik sangat mempengaruhi sifat-sifat moral, fisik dan intilektual. Maka besar kemungkinan wanita shalehah melahirkan anak-anak yang shalih pula. Sebagaimana jika lihat orang-orang yang mulia, tentulah mereka lahir dari pemilik rahim yang mulia.

Hal ini, dapat kita lihat dari kehidupan di jaman para sahabat. Abdullah bin Zubair lahir dari gadis yang shalihah, pemberani dan dermawan, yaitu Asma binti Abu Bakar Radhiyallahu ‘anha. Anas bin Malik, putra Ummu Sulaim, yang menikah dengan Abu Thalhah yang kara raya, namun hanya meminta ke Islaman sebagai maharnya. Dan masih banyak lagi orang-orang yang shalih yang lahir yang wanita shalihah.

Memang kadang, seorang anak bisa membawa sifat-sifat pamannya ataupun bibinya. Namun faktor lingkungan juga sangat menentukan. S eorang ibu tentu yang lebih dekat dengan anak-anaknya dan  wanita shalihah tidaklah keluar darinya kecuali hanya perbuatan-perbuatan, pemikiran-pemikiran dan ucapan-ucapan yang ulia. Baik pada saat mengandung, melahirkan, menyusui, mengasuh dan menemani tumbuh kembang mereka. Semua ini sangat berpengaruh bagi anak-anaknya. maka kemungkinan-kemungkinan pengaruh-pengaruh buruk dari luar dapat di minimalkan. 

Hal ini dikuatkan dengan ayat 28 dari surat Maryam:
Hai saudara perempuan Harun, ayahmu sekali-kali bukanlah seorang yang jahat dan ibumu sekali-kali bukanlah seorang pezina.”

Ayat ini menjelaskan, sangat sulit dipercaya kalau seorang anak itu pezina sedangkan saudaranya, ayahnya dan ibunya adalah orang baik-baik.

Anak-anak yang lahir dan besar dari keluarga yang baik – terlebih lagi ibunya, sedikit saja memberi sentuhan pendidikan yang baik, akan memberikan pengaruh yang sangat baik dan optimal. Sebagaimana tanah yang baik, sedikit saja terkena siraman air, itu sudah lebih dari cukup untuk tanaman.

Sebaliknya anak-anak yang lahir dan besar dari keluarga jauh dari lingkungan agama, terlebih lagi ibunya juga tidak paham agama. Maka, sulit diharapkan anak-anaknya menjadi anak yang taat kepada Allah. Bisa saja, untuk mendapatkan atau ingin menjadikan anak-anak mereka yang shalih, maka mereka mengirimkan anak-anaknya ke pondok-pondok pesantrin.

Namun, jika kehidupan orangtuanya jauh dari agama dan di rumah tidak ada amalan agama, maka sangat sulit diharapkan anak-anaknya menjadi anak yang shalih, walaupun itu tidak menutup kemungkinan menjadi anak yang shalih karena ia berlajar di pondok yang berbasis agama, namun, ia akan merasakan kesusahan dan kesulitan amalkan agama karena orang tua mereka jauh dari agama.
Hal ini, dapat kita lihat anak-anak yang mendapat hidayah, namun keluarga mereka belum mendapat hidayah. Betapa sulitnya mereka amalkan agama. Jika dia kuat, maka dia bertahan walaupun dengan segala kesusahannya, sebaliknya dia imannya tidak kuat, maka dia akan tumbang sebagaimana tanaman yang mati.

Begitulah hikmah yang kita dapatkan dari ujung ayat 28, “dan tanah yang tidak subur, tanaman-tanamannya hanya tumbuh merana.”

Ukhti, di manakah dirimu? Mereka ada generasi masa depan, tapi semuanya tergantung pada kita? Sudahkah menjadi ‘tanah yang baik’ buat anak-anak kita?






[1]  Ibnu Majah, Dailami – Cerdas ala Rasulullah. 

Tidak ada komentar